Headlines
Published On:Minggu, 18 September 2016
Di posting oleh WEMPI WENLAUS DOO

Penindasan Terhadap Perempuan Mee Pago dalam Perspektif suku Mee

Perempuan muda Mee dengan busana adat suku Mee dalam festival Budaya yang diselenggaran di SMA Adhi Luhur. Festival ini diselenggarakan sekali dalam dua tahun. (Filemon Keiya - SP)

Oleh: Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta
Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta telah melakukan diskusi seri ke III tentang penindasan terhadap perempuan Mee Pago dalam prespektif suku Mee. Diskusi ini dilakukan pada tanggal 16 september 2016 yang dimulai pukul 19.00 WIB sampai selesai. Ia dihadiri oleh kurang lebih 25 orang yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.  Dorlince Iwoyau sebagai pemantik diskusi. Beliau memaparkan sejarah atau budaya suku Mee yang ditulis oleh Mikael Tekege . Dalam pemaparan materi diskusi, pematik juga menyelipkan bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktek ketidakadilan ini dilegitimasi atas nama adat. Diskusi menjadi hangat setelah menyaksikan Film pendek yang berjudul ‘Perempuan Papua Menuju hari Esok’ .

Film Perempuan Menuju Hari Esok
Film ini menceritakan Perjungan mama-mama suku Mee, khususnya di kabupaten Paniai . Mereka sebagai tulang punggung rumah tangga. Di mana, seorang ibu bangun pagi ke kebun, pulang dari kebun masak, setelah masak harus mencari kayu bakar. Selain itu, beliau juga harus berjualan untuk mendapat uang sampingan sehingga dapat menunjang kehidupan keluarganya.
Film tersebut juga menggambarkan , sosok laki-laki Mee sekarang yang memilih untuk tinggal diam di rumah, suka jalan-jalan. Dan dia belum mengambil peran aktif sebagai sosok yang harus menafkahi keluarga.
Diskusi menjadi hangat ketika beberapa kawan putri yang menyoroti permasalahan yang dihadapi mama-mama Mee dan sosok laki-laki zaman sekarang yang gagal menjalankan peran. Berulang kali dikatakan “laki-laki hanya tau bikin anak, tidak tau bekerja di kebun, tidak bisa cari kayu bakar, dia hanya tau buat proposal. Setelah dapat uang tidak tau uangnya dikemanakan. Entahlah, uang tersebut untuk mace paha putih dong ka? Atau bir di toko habis ka?, uang di hotel bintang berapa atau hotel melati apa? hanya dong sendiri yangtau”.
Maria Baru menjelaskan tentang bergesernya tanggung jawab seorang laki-laki Papua yang zaman dulu hingga sekarang. Dia menjelaskan secara singkat bahwa, dahulu kita (orang Papua) berada pada jaman komunal. Di mana zaman itu, banyak orang Papua belum mengenal perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan, jadi semua pekerjaan dilakukan bersama.
Namun berkembangnya zaman, ketika pemerintah masuk di tanah Papua, orang non Papua masuk, banyak pemekaran-pemekaran kabupaten baru, memengaruhi pergeseran tanggung jawab seorang laki-laki Papua yang sejatinya menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam film perempuan Papua menuju hari esok,  juga mengangkat bagimana para mama dari Paniai diberi uang dana respek Rp. 15 juta rupiah.
Dana tersebut digunakan oleh mama untuk modal usaha dan simpan pinjam.  Dalam film tersebut juga, menceritakan kondisi pendidikan di Paniai. Banyak anak murid , tetapi anak murid ini harus menerima pelajaran dalam kondisi gedung yang tidak layak, seperti fasilitas gedung kelas tidak memadai. Bentuk gendung selayaknya gubuk-gubuk di kebun. Minimnya tenaga didik sehingga seorang guru harus mengajar dari kelas satu SD sampai kelas enam SD.
Marginalisasi Terharap Perempuan
Marginalisasi terhadap perempuan di Papua, secara khusus di wilayah paniai dalam hal pendidikan,  apalagi pendidikan adat.
Masyarakat suku Mee dulunya masih menganut pendidikan lisan melalui dekonstruksi bahasa. Dimana anak-anak mereka diajarkan secara lisan, namun terpisah antara perempuan dan laki-laki. Anak laki-laki diajarkan oleh ayahnya tentang cara memburuh, membuat pagar, anak panah, perang, dan cara memutuskan sesuatu dalam keluarga dan masyarakat. Sementara perempuan diarahkan dalam cara memelihara ternak, bercocok tanam, memasak, merawat dan membesarkan anak. Jadi perempuan itu diarahkan dalam urusan dosmetik , sedangkan pengambilan keputusan adalah di tangan seorang pria.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan formal datang dengan kurikulum yang berbeda dengan budaya masyarakat setempat, hal ini membuat mereka merasa terbelakang. Dalam artian, masyarakat yang masih hidup dalam pendidikan lisan tidak dapat memahami pendidikan formal yang datang begitu saja tanpa mengetahui dahulu perkembangan pendidikan setempat. Dalam masa-masa ini juga, masyarakat suku Mee, khususnya perempuan masih termarginalisasi dalam hal pendidikan. Perempuan masih dianggap sebagai sumber uang untuk laki-laki bersekolah.
Sumber:Suara Papua

Tentang saya:

Saya adalah : "ORANG GILA" Yang Berkelana di Ilalang Kebebasan ) ...Aku Ambil Daun Untuk Jadikan Kertas dan Mematah Ranting Pohon Untuk Jadikan Pena, Sambil Meneteskan Air Mata Untuk Jadikan TINTA dan Kurangkai Sebuah KALIMAT Sebagai Penghibur Tangis... *** -- Bagaimana menurut anda? Beri komentar dan bagikan ya..! .

By WEMPI WENLAUS DOO on 06.38. , .

0 Comments for "Penindasan Terhadap Perempuan Mee Pago dalam Perspektif suku Mee"

Postkan Komentar Anda : Redaksi menerima komentar terkait Berita yang ditayangkan. Komentar adalah tanggapan pribadi dan menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak mengubah dan menghapus komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berbau pelecehan, intimidasi, berisi fitnah, atau bertendensi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). - Terima Kasih! Hak CIPTA © :

MASUKAN EMAIL ANDA!

#TERPOPULER

Random Posts

#Translate

Tayangan Laman

# FIRMAN TUHAN

# FIRMAN TUHAN

# visitor

Flag Counter