Published On:Rabu, 07 Mei 2025
Di posting oleh Admin:
KISAH YOHANA DI JAYAPURA
Matahari sore menembus celah dedaunan pohon flamboyan yang berdiri anggun di halaman Gereja Taman Immanuel, Jayapura. Yohana duduk di bangku kayu yang menghadap danau Sentani, menyeka peluh di dahinya. Ia baru saja pulang dari Pasar Youtefa, menjual hasil kebun milik ibunya—ubi, daun keladi, dan buah matoa.
Gadis berusia tujuh belas tahun itu hidup sederhana di pinggiran kota Jayapura, di daerah Waena. Ayahnya sudah lama tiada, meninggal saat konflik di Wamena belasan tahun lalu. Sejak itu, ibunya, Mama Reni, menjadi tulang punggung keluarga, dan kini Yohana perlahan mengambil alih peran itu.
Yohana memiliki satu impian yang selalu ia jaga rapat dalam hatinya—menjadi guru. Ia ingin kembali ke pedalaman Papua, ke desa tempat ayahnya dibesarkan, dan membuka sekolah kecil di sana. Tapi mimpi itu selalu terasa jauh, tertutup oleh kenyataan yang keras: uang sekolah, biaya hidup, dan beban keluarga.
Sore itu, setelah menghitung uang hasil jualan yang tak seberapa, ia menatap danau dengan air mata menetes perlahan.
“Tuhan, kuatkan saya. Biar saya tetap berdiri. Biar saya bisa lanjut sekolah,” bisiknya.
**
Hidup Yohana berubah ketika seorang relawan pendidikan asal Biak, Ibu Maria, datang ke sekolahnya. Sang relawan menanyakan siapa siswa yang mau menjadi guru dan mengabdi di pedalaman.
Yohana mengangkat tangannya dengan ragu tapi penuh tekad. Seminggu kemudian, ia dipanggil ke ruang kepala sekolah dan diberi kabar: namanya masuk dalam program beasiswa ke Universitas Cenderawasih, jurusan pendidikan.
Malam itu, ia memeluk Mama Reni sambil menangis. “Mama, Yohana bisa kuliah. Tuhan buka jalan.”
***
Tiga tahun kemudian, Yohana kembali ke kampung ayahnya di Yahukimo. Ia tidak membawa banyak, hanya ransel berisi buku, papan tulis kecil, dan semangat yang tak bisa dipadamkan. Di sana, di bawah pohon-pohon besar dan atap honai sederhana, ia mulai mengajar anak-anak yang belum bisa baca.
“Nama saya Yohana. Saya datang bukan bawa banyak uang, tapi saya bawa cinta untuk tanah ini,” ucapnya dalam bahasa daerah.
Dan setiap malam, di tengah dinginnya pegunungan Papua, Yohana duduk menulis: kisah-kisah kecil dari tanah besar yang dulu dilukis ayahnya dalam dongeng masa kecil.
***
W.Takapabii Doo