Published On:Jumat, 09 Mei 2025
Di posting oleh Admin:
Mama Kacang-Jagung di Pantai Nabire
Setiap sore, mama Yohana datang jalan pelan-pelan ke Pantai Nabire. Di atas kepala dia bawa noken isi jagung dan kacang, tangan satu pegang bara kecil dari rumah. Dia biasa duduk di bawah pohon kelapa dekat batu besar, itu tempat sudah jadi rumah kedua untuk dia.
"Jagung bakar! Kacang panas! Sore-sore makan enak, kaka!" teriak mama Yohana, suara dia lembut tapi tegas.
Mama Yohana bukan perempuan muda lagi. Umur dia sudah tua, badan dia kurus, tapi semangat dia bakar kuat, karena dia punya alasan besar—anak dia, Mikael. Itu anak bungsu dari tiga saudara. Dua kakak sudah besar, tapi Mikael masih sekolah SMA, kelas dua.
"Sa mau dia jadi guru. Jangan kayak sa, hanya jualan di pantai," bilang mama Yohana waktu ditanya orang.
Suami dia sudah meninggal lama, tinggal dia sendiri urus Mikael dari kecil. Tiap pagi mama tanam kacang sama jagung di kebun belakang, sore dia bawa ke pantai buat jual. Hujan datang kah, panas kah, angin kencang kah—mama tetap datang.
Kadang orang-orang bilang, "Mama, ko capek sudah, istirahat saja."
Tapi mama Yohana cuma senyum, "Kalau sa istirahat, siapa yang mau kasih makan anak?"
Banyak kali, hari sepi. Tidak banyak pembeli. Tapi mama tetap duduk di tikar kecil, lihat laut, tunggu satu-dua orang beli.
Suatu hari, Mikael datang lari-lari dari rumah, bawa kertas putih.
"Mama! Mama! Saja sudah lulus! Sa dapat sekolah di Jayapura!" kata dia sambil peluk mama.
Mama Yohana menangis diam-diam, tangan dia pegang Mikael kuat-kuat.
"Ko sekolah baik-baik, ko jadi orang. Itu baru balas cinta mama," katanya pelan.
Dan sejak itu, tiap sore mama tetap datang ke pantai. Dia tidak jual banyak lagi. Hanya bawa sedikit jagung, kacang, dan duduk lihat laut sambil doa dalam hati.
"Terima kasih, Tuhan. Jagung dan kacang sudah antar anak saya ke masa depan."
***
W. Takapabi Doo