Published On:Rabu, 22 Juli 2015
Di posting oleh Admin:Yupiwo Apogo News
Filep Karma dalam Buku “Seakang Kitorang Setengah Binatang
Filep Karma dalam Buku “Seakang Kitorang Setengah Binatang”*
Hingga saat ini, Filep Karma masih
dalam penjara di Lapas Abepura sejak sembilan tahun lalu. Pada Mei
2005, Pengadilan Negeri Abepura mendakwanya bersalah atas tuduhan
“makar” setelah mengadakan aksi kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2004.
Pengadilan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Filep meneguhkan
langkah perjuangannya walaupun di balik jeruji besi, Filep tidak pernah
menerima remisi masa tahanan setiap tahun, dia menyakini bahwa menerima
remisi sama dengan mengakui kesalahan atas aksinya.
Buku Seakan Kitorang Setengah Binatang, karya Filep Karma.
Setelah menyelesaikan kuliah di Jawa, Filep Karma kembali ke Papuadan
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Filep Karma mengamati
perlakuan diskriminasi rasial dari aparatus pemerintahan maupun dari
masyarakat non Papua. Bahkan, “mereka” mengaggap dan memperlakukan
manusia Papua seperti“setengah Binatang”. Filep Karma mengatakan:
“Di Jayapura, di Jalan Irian–kalangan pejuang sebut Jalan Merdeka—hampir semua toko yang dimiliki oleh orang Papua pada 1960-an, sekarang sudah bukan milik orang Papua lagi. Toko-toko tersebut sudah berpindah tangan kepada non-Papua. Diambil alih dengan cara kasar. Kadang dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat orang itu ditangkap, semua asetnya berpindah tangan ke non-Papua”.
Filep Karma sempat sekolah di Manila, Filipina, dan merasakan perlakuan
yang berbeda yang di berikan orang-orang Filipina terhadapnya
dibandingkan dengan perlakukan orang Indonesia semasa kuliah di Solo.
Di Manila, saya dihargai sebagai manusia dan tak ada pelecehan, penghinaan atau perlakuan diskriminasi. Itu yang saya rasakan dalam pergaulan. Contoh ketika saya berbelanja di supermarket atau di pasar. Dalam pergaulan dengan masyarakat, saya merasa dihargai, sebagai sesama seperti mereka. Jadi saya dianggap bagian dari mereka atau dalam istilah Jawa diwongke atau dimanusiakan, tidak seperti yang pernah saya alami di Papua atau di Jawa.Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia.Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Ketek! Begitu.”
Akan tetapi, perjuangan Papua tidak dapat dimenangkan jika dilandasi
dengan rasialisme, perjuangan Papua harus mencontoh bagaimana pengalaman
awal pembangunan bangsa Indonesia hingga merdeka. sehingga, sejak awal
pembangunan nasionalisme Papua harus memiliki prinsip yaitu kemanusiaan,
kebenaran dan keadilan.
“Bangsa Papua, bagi saya, orang yang mau mengorbankan jiwa raganya untuk kepentingan bangsa Papua dan tanah Papua. Itulah yang orang Papua. Tanpa melihat silsilah dan keturunan. Sebab dalam pengalaman saya, selama ini ada juga teman-teman saya, yang ciri – cirinya Melanesia tidak ada pada dirinya, tetapi hatinya Papua”
Menurut Filep Karma, bahwa bangsa Papua adalah tiap orang yang mengakui
bahwa dirinya orang Papua, mencintai bangsa Papua dan rela berkorban
bagi bangsa Papua. Ini tanpa melihat suku, etnis dan bahasa. Filep
Karma dalam orasinya menegaskan secara sederhana tentang konsep
nasionalisme Papua.
“Bahwa orang Papua bukan selalu kulit hitam, rambut keriting. “Di Jawa, ada orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia juga peduli pada kita orang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, Sobat kau datang!”
tegas Filep Karma dalam orasinya dilansir dari Youtube.com
Filep Karma menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan Papua butuh berbagai
macam siasat, salah satunya mendapatkan pengakuan dari negara-negara di
dunia. Pada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dihadiri sebanyak 194 negara mensyaratkan bila papua serius ingin
merdeka maka setidaknya harus mendapatkan dukungan 130 negara.
Sementara, sekarang ini hanya negara Vanuatua (salah satu negara di
Kepulauan Pasifik) yang secara terbuka mendukung kemerdekaan Papua.
Filep Karma juga menekankan pentingnya demokratisasi di dalam alat
perjuangan (persatuan) untuk kemerdekaan Papua, karena masih terdapat
ego sentris yang kuat di berbagai kelompok suku Papua.
Penekanan Filep Karma tentang pentingnya alat politik, harus ada
pembenahan organisasi – organisasi perjuangan di Papua. Saat ini,
persatuan antara faksi-faksi organisasi Papua masih sulit. Masih ada
nuansa saling menjelekan cara berjuang dan masih saling menjatuhkan
metode perjuangan.
Filep Karma meyakini bahwa Papua dapat dimenangkan dengan cara-cara
demokratis/damai, damai dalam pengertian berjuang memenangkan gagasan
dalam masyarakat minsalnya menyampaikan aspirasi secara damai, sopan dan
santun, tanpa menindas orang lain.
“Cara berdemokrasi Ini yang sangat perlu bagi orang Papua. Kita mau duduk bersama, saling mendengar, saling mengalah dan kalau kita mau memilih pemimpin, mari kita tempuh cara demokratis,” kata Filep dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang”.
Filep Karma juga menekankan pentingnya melakukan
penyadaran/ideologisasi terus menerus terhadap masyarakat Papua. Bahwa
perbedaan tetaplah perbedaan tidak dapat di paksakan menjadi satu.
Misalnya, orang gunung tetap pada karakteristiknya tidak mungkin dipaksa
untuk mengikuti karakter orang pantai. Yang penting adalah rasa
solidaritas terhadap penderitaan di Pantai orang Gunung juga
merasakannya.
Saat ini lembaga-lembaga pendidikan resmi, dari Sekolah Dasar (SD)
sampai Universitas, dari surat kabar sampai media-media di Internet,
dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Bahkan saat ini pemerintah Indonesia
memblokir salah satu media internet Papua (Papuapost.com) atas
permintaan tentara. Filep Karma menggaris bawahi pentingnya melakukan
pendidikan-pendidikan sederhana dari mulut ke mulut, atau lewat
pertemuan-pertemuan sederhana, arisan keluarga atau pelatihan khusus
untuk kader politik. Merekalah nantinya yang akan bertanggung jawab
untuk menyebarkan gagasan perjuangan pada masyarakat luas dalam
demonstrasi, rapat akbar, panggung orasi, dll.
Sejak awal, perjuangan mesti dilandasi dengan kepentingan perjuangan
kelas masyarakat lain yang ditindas, dengan melakukan dan meningkatkan
solidaritas terhadap seluruh masyarakat yang tertindas, persoalan
perburuhan, mahasiswa, tani dll.
“Kitorang di Papua juga harus belajar untuk mengubah pola-pola. kalau di Jakarta saat ini ada demonstrasi buruh menuntut perbaikan gaji, kitorang di Papua juga harus turun jalan mendukung apa yang teman-teman buruh di Jakarta suarakan. Ada ketidakadilan pada perempuan di Jakarta kita di Papua juga harus ikut aksi itu. Menyatakan solidaritas!”
tulis Filep dalam bukunya.
***
*Diambil dari: solidaritas.ne