Published On:Selasa, 24 November 2015
Di posting oleh Admin:Yupiwo Apogo News
Makna 1 Desember 1961, Bagi Rakyat Papua
Rentetan perjuangan dengan gelimang pengorbanan sudah dan terus akan
dilakukan oleh rakyat Papua Barat demi mencapai cita-cita pembebasan
nasional Papua Barat dari cengkraman penjajah kolonial Indonesia dan
kepentingan negara-negara dunia pertama. 1 Desember 1961, merupakan
salah satu tonggak awal keinginan rakyat Papua Barat membebaskan diri
dari penjajah. Pada momentum politis ini telah melahirkan "Manifesto
Politik Papua Barat" menjadi landasan perjuangan pembebasan Papua Barat
secara politik.
Awal perjuangan rakyat Papua Barat melawan penjajah, tak hanya karena 1
Desember 1961 tetapi jauh sebelum itu telah dimulai dengan perlawanan
rakyat dengan gerilya hingga perjuangan politik yang diplomatis. Pada
masa pendudukan Belanda, akhir 1940 bermunculan beberapa partai politik
Papua Barat yang turut membangun kesadaran akan nasionalisme Papua
Barat. Partai politik di Papua Barat saat itu yang tak ada hubungannya
sama sekali dengan partai-partai yang ada di Belanda maupun Indonesia.
Partai lokal lahir sesuai dengan kebutuhan dan kemauan politik rakyat di
Tanah Papua Barat.
Kesadaran melawan penjajah secara politik juga turut melahirkan
perlawanan bersenjata dengan bergerilya. Tonggak awal pencetusan
berdirinya perjuangan bersenjata di Manokwari, Juli 1965 oleh para
eks-pasukan Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps). Tokoh
pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu
sudah berumur 75 tahun. Johan Ariks juga sebelumnya terlibat dalam
pendirian beberapa partai politik diantaranya; Gerakan Persatuan Nieuw
Guinea dan Partai Demokraticshe Volkspartij (DVP).
Pada periode 1961 - 1970, selain dari pendirian partai Politik tidak
hanya sebatas membangun kesadaran, tetapi juga untuk melawan militerisme
Indonesia. Pada dekade ini terdapat 7 (tujuh) kali Operasi Militer yang
digencarkan Indonesia untuk membasmi perlawanan dan kesadaran rakyat
Papua Barat. Awal invasi militer Indonesia, ditandai dengan terbitnya
Hukum Perang (Dektrit) Trikora pada akhir tahun 1961. Operasi Militer
pertama kali dipimpin lansung oleh Mayor Ali Murtopo dan Benny Moerdani.
Setelah tahun-tahun awal pada dekade ini, berikutnya muncul juga
beberapa nama militer Indonesia yang memimpin dalam pembantaian rakyat
Papua Barat, diantaranya A.Yani (Operasi Wisnumuri, 1963 -1965),
R.Kartidjo (Operasi Sadar, 1965), R.Bintoro (Operasi Bharatyudha, 1966 -
1967) dan Sarwo Edi (Operasi Tumpas, 1967 - Operasi Wibawa 1967 -
1970).
Pelaksaaan Operasi Militer pada dekade 1961 - 1970 adalah ilegal menurut
hukum Indonesia, karena pada saat itu Papua Barat belum resmi menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dapat
diartikan sebagai penjajahan. Belakangan diketahui bahwa nafsu
pendudukan militer Indonesia ini diboncengi dengan kepentingan
imperialis, yaitu dilaksanakannya Kontrak Karya Freeport pada tahun 1967
sebelum pelaksaan referendum yang oleh Indonesia diubah menjadi
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Sebab akibat dari
niat yang busuk Indonesia dan kroninya juga sangat mempengaruhi proses
PEPERA, yaitu adanya pengubahan dari yang seharusnya, salah satu
diantanya "Satu Orang, Satu Suara" menjadi "Dewan Musyawarah". Akhirnya
pelaksaan PEPERA pun tidak sesuai dengan kebiasaan hukum internasional
dan melanggar Perjanjian New York tahun 1962. Sepihak oleh Indonesia
rakyat Papua Barat dipilih dan ditentukan untuk memilih dalam PEPERA
hanya 1025 Orang, dari kurang lebih 800.000 jiwa saat itu.
Pengalaman traumatik akan kekejaman militerisme Indonesia, tak
menghentikan perlawanan rakyat Papua Barat untuk pembebasan nasional.
Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem bersama Jakob Prai,
Jarisetou Jufuway dan Louis Wajoi mencetuskan "Proklamasi Kemerdekaan
Papua Barat ", di Desa Waris (Marvic). Keinginan akan mendirikan negara
sendiri pun terus bergema di pelosok bumi Papua Barat, sesudah tiga
tahun Proklamasi di Marvic. Pada tanggal 3 Desember 1974, di Serui
lahirlah deklarasi Negara Melanesia Barat yang meliputi Sorong -
Samarai.
Salah satu peristiwa yang hingga kini masih terus dikenang rakyat Papua
Barat adalah pembunuhan tokoh budayawan Papua, Arnold Clemens Ap, 26
April 1984. Arnold dibunuh karena ketakutan Militer Indonesia terhadap
perannya yang turut membangun kesadaran akan nasionalisme Papua melalui
gerakan musik-budaya "Mambesak". Adapun keinginan rakyat Papua Barat
untuk bebas dari cengkraman penjajah juga sudah dan akan terus
melahirkan momentum politis, salah satu diantaranya deklarasi Negara
Melanesia Barat pada tanggal 14 Desember 1988 oleh Dr. Thomas Wapai
Wanggai.
Selain pertistiwa bersejarah, perlawanan rakyat Papua Barat terus
dilakukan dengan aksi-aksi demontrasi, diplomasi, gerilya hingga
pendirian kantor-kantor perwakilan perlawanan rakyat Papua Barat
dibeberapa negara, untuk menggalang solidaritas masyarakat internasional
dan mengkampanyekan kekejaman militer Indonesia.
1 Desember 1961, merupakan tonggak kesadaran nasionalisme Papua dengan
melahirkan manifesto politik Papua secara terbuka. Dengan menetukan nama
negara : Papua Barat, lagu kebangsaan : “Hai, Tanahku Papua” serta
“Bintang Kejora” sebagai bendera nasional dan lambang Burung Mambruk
dengan semboyan “One People One Soul”. Maka rakyat Papua sudah dan akan
selalu memperingati setiap 1 Desember sebagai kemerdekaan yang terjajah.
Hingga pada tahun 2015 ini, ratusan ribu rakyat Papua telah terbunuh
dalam melawan dan karena kekejaman militer Indonesia, yang juga terus
menyokong kepentingan negara dunia pertama. Hormat dan jabat erat untuk
rakyat yang terus berlawan!! Hidup Rakyat!! Hidup Rakyat Papua!!
Selamat menyongsong 1 Desember 2015!!
Boss, lampirkan sumbernya..