Headlines
Published On:Jumat, 22 September 2017
Di posting oleh Admin:Yupiwo Apogo News

Papua kembali disoroti pada sidang Dewan HAM PBB ke-36

Delagasi yang hadir pada pembukaan sesi Dewan HAM PBB ke-36 di kantor PBB di Jenewa, Swiss, 11 September 2017 - Laurent Gillieron/EPA-EFE
YUPIWO APOGO |NEWS © 2017
INTERNASIONAL:
Sumber:Tabloidjubi


Nabire, Jubi – Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional.
Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu.
Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP.
“Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9).
Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi.
“Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya.
Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua.
Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua.
Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan.
Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan.
Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi.
Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa.  Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu.
Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan.
Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua.
Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua.
"Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*)

 Sumber:Jubi
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html
Nabire -- Pada sesi sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (19/9) lalu isu hak azasi manusia sipil politik dan peminggirian Orang Asli Papua kembali diangkat oleh Pemerintah Solomon dan 4 jaringan LSM internasional. Terdapat lima persoalan utama yang menjadi sorotan Permanent Mission Kepulauan Solomon di Jenewa, Swiss yang diungkapkan dalam sesi Debat Umum ke-18 pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-36 yang dapat disaksikan langsung di Web TV UN itu. Persoalan yang dimaksud meliputi kebebasan berekspresi dan berkumpul, penangkapan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP), kebijakan transmigrasi yang tetap dikondisikan oleh Jakarta, kondisi kesehatan OAP, serta diskriminasi dan peminggiran OAP. “Militer dan Polisi Indonesia masih terus saja menekan OAP untuk dapat mewujudkan hak mereka bebas berpendapat, berekspresi, berkumpul secara damai serta berorganisasi… antara bulan Juli dan Agustus saja, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dan beberapa mendapat kekerasan selama melaksanakan hak berkumpulnya secara damai,” ujar Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, seperti dikutip dalam dalam naskah tertulis pidatonya, Selasa (19/9). Penurunan populasi OAP di Papua dan Papua Barat juga menjadi sorotan khusus pidato Salato, ditambah kondisi kesehatan dan diskriminasi berbasis ras dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. “Dalam Peringatan Awal organisasi Masyarakat Sipil internasional kepada Committee on the Elimination of Racial Discrimantion (CERD) dilaporkan bahwa populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971 menjadi hanya kurang dari 42% saat ini. Tanpa melakukan aksi yang tepat, maka diperkirakan populasi OAP akan hilang dalam 40 tahun ke depan,” ujarnya. Dalam kesempatan itu Solomon mendesak Pemerintah Indonesia untuk membangun dialog konstruktif dengan OAP untuk mengatasi akar penyebab pelanggaran HAM tersebut. “Kami juga meminta agar pelapor khusus PBB untuk hak orang asli dan pelapor khusus untuk pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hokum berkunjung ke West Papua,” ujar Salato diakhir pidatonya. Di kesempatan yang sama, empat organisasi sipil internasional juga menyampaikan sikap mereka atas situasi West Papua. Vivat Internasional, Franciscans International (FI), International Coalition for Papua (ICP), dan Westpapua Netzwerk (WPN) juga mendesak Pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan dialog politik antara pihak-pihak yang berkonflik atas dasar saling percaya terhadap rakyat Papua. Mereka juga meminta Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di luar hukum serta menyegerakan penyelesaian kasus-kasus pembunuhan tersebut melalui sistem peradilan yang transparan. Secara khusus mereka menyoroti kasus-kasus penembakan rakyat sipil di Papua yang tidak berhasil membawa para pelaku dari pihak aparat keamanan ke pengadilan yang transparan. Kasus-kasus seperti Timika, Paniai, Sugapa, serta kasus yang terbaru penembakan di Kampung Oneibo, Deiyai, dimana negara berjanji untuk menanganinya secara hukum dan membuat para pelaku bertanggung jawab, belum terpenuhi. Sebelumnya seperti diberitakan tabloidjubi.com Maret lalu, Pemerintah Indonesia juga mendapat kritikan keras dalam Sidang Dewan HAM Sesi ke-34, 1 Maret 2017 di Jenewa. Kritikan ini datang dari tujuh negara Pasifik yang menyampaikan pernyataan bersama di hadapan sidang Dewan HAM PBB itu. Vanuatu mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands, dan Solomon Islands di hadapan negara-negara anggota PBB menyampaikan bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Indonesia Hak Asasi Manusia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di Wasior, Wamena, dan Paniai. Namun belum ada satu dari tiga kasus ini yang sampai ke pengadilan. Mereka juga menyoroti kebijakan migrasi penududk non-Papua ke Papua yang dijalankan pemerintah Indonesia semakin mengarah pada penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua. Sementara respon delegasi Indonesia pada saat itu terhadap ketujuh negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran HAM dituding sebagai pintu masuk pemberian dukungan terhadap right to self determination Papua yang selalu disuarakan oleh gerakan separatisme Papua. "Politisasi isu HAM Papua di sidang Dewan HAM dan berbagai forum PBB ini sangat bertentangan dengan Prinsip Penghormatan Kedaulatan dan Integritas Wilayah sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan berbagai hukum internasional lainnya,” kata Irwansyah Mukhlis, Sekretaris Dua misi Indonesia di Jenewa Maret lalu.(*) Posted by: Zely Ariane Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2017/09/papua-kembali-disoroti-pada-sidang-dewan-ham-pbb-ke36.html

Tentang saya:

Saya adalah : "ORANG GILA" Yang Berkelana di Ilalang Kebebasan ) ...Aku Ambil Daun Untuk Jadikan Kertas dan Mematah Ranting Pohon Untuk Jadikan Pena, Sambil Meneteskan Air Mata Untuk Jadikan TINTA dan Kurangkai Sebuah KALIMAT Sebagai Penghibur Tangis... *** -- Bagaimana menurut anda? Beri komentar dan bagikan ya..! .

By Admin:Yupiwo Apogo News on 19.15. , .

0 Comments for "Papua kembali disoroti pada sidang Dewan HAM PBB ke-36 "

Postkan Komentar Anda : Redaksi menerima komentar terkait Berita yang ditayangkan. Komentar adalah tanggapan pribadi dan menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak mengubah dan menghapus komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berbau pelecehan, intimidasi, berisi fitnah, atau bertendensi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). - Terima Kasih! Hak CIPTA © :

MASUKAN EMAIL ANDA!

#TERPOPULER

Random Posts

#Translate

Tayangan Laman

# FIRMAN TUHAN

# FIRMAN TUHAN

# visitor

Flag Counter