Published On:Minggu, 04 Mei 2025
Di posting oleh Admin:
kisah seorang anak yatim piatu -Langit Timur di jakarta
YUPIWO APOGO |NEWS © 2025
CERPEN:
Karya: Wempi W.Doo
CERPEN:
Karya: Wempi W.Doo
Sa pu nama Yohanis Mabel. Sa anak asli dari Wamena. Sejak umur sa baru sepuluh tahun, mama papa sudah tidak ada—mereka kena waktu perang di kampung. Jadi sa tinggal sama oma, satu-satunya orang yang sayang sa paling banyak di dunia.
Oma selalu bilang, “Anak, ko harus sekolah tinggi. Jangan cuma tinggal di gunung. Ko harus jadi terang dari Timur.”
Waktu oma meninggal, hati sa hancur. Sa pikir, sudah, hidup ini tra ada gunanya lagi. Tapi sa ingat kata oma. Jadi sa tahan air mata, sa pergi terus sekolah.
Dengan bantuan dari gereja dan guru-guru di sekolah, sa bisa daftar kuliah di Jakarta—Universitas Indonesia. Waktu itu sa tida tahu Jakarta itu macam apa, tapi sa percaya Tuhan bawa sa ke sana untuk suatu alasan.
Waktu sa sampai di Jakarta, sa kaget. Ado, itu kota besar sekali. Gedung tinggi, jalan macet, orang-orang semua jalan cepat-cepat. Sa merasa kecil sekali. Orang di kampus kadang lihat sa aneh, karna kulit sa hitam, rambut sa keriting, logat sa juga beda.
Tapi sa bilang dalam hati, “Kalau sa mundur, siapa lagi yang bawa cerita Papua ke sini?”
Siang sa kuliah, malam sa kerja di toko fotokopi. Kadang sa hanya makan mi instan satu bungkus dua hari. Tapi sa tidak pernah mengeluh. Sa tahu, ini jalan sa.
Waktu tulis skripsi, sa ambil topik tentang trauma anak-anak Papua yang tumbuh di tengah konflik. Sa cerita juga pengalaman sa sendiri, bagaimana rasanya jadi anak kecil yang liat darah, liat api bakar rumah, dan dengar suara tembakan waktu malam-malam.
Dosen bilang, “Yohanis, ini bukan sekadar skripsi. Ini luka bangsa yang ko tulis.”
Waktu wisuda, sa berdiri di atas panggung, pakai toga, semua orang tepuk tangan. Tapi dalam hati, sa menangis. Sa lihat langit Jakarta, dan bilang pelan-pelan:
“Oma, cucu su jadi terang dari Timur. Sa tra lupa ko pu pesan.”
***