Published On:Senin, 28 April 2025
Di posting oleh Admin:
"Cinta kita amoye dan Enago di kota Waghete"
Di Waghete, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Tigi yang biru tenang, hidup seorang perempuan yang kecantikannya selalu diperbincangkan: Enago. Ia bukan hanya cantik karena wajahnya, tapi juga karena kelembutan hatinya dan senyum hangat yang bisa meredakan amarah siapapun yang melihatnya.
Aku bertemu Enago pertama kali di pasar kecil Waghete, di bawah pohon beringin besar yang menjadi tempat berkumpul anak-anak muda. Saat itu ia mengenakan rok noken berwarna cerah dan membawa bakul penuh hasil kebun. Mata kami bertemu tanpa sengaja, dan rasanya dunia seketika berhenti berputar.
Hari-hari setelah itu, aku selalu mencari alasan untuk bertemu dengannya. Kadang aku pura-pura membeli ubi di pasar hanya untuk sekilas melihat Enago. Kadang aku duduk di tepi danau berharap ia lewat. Dan setiap kali mata kami bertemu, Enago selalu menyapa dengan senyum yang membuat hatiku meleleh seperti es di tengah panas matahari Waghete.
Pada suatu sore, saat kabut tipis mulai turun dari pegunungan deiyai dan langit Waghete membakar jingga, aku memberanikan diri. Aku membawa seikat bunga wagadei dari odee dan menghampirinya. Tangan gemetarku hampir menjatuhkan bunga itu, tapi Enago hanya tertawa kecil — suara tawanya seperti nyanyian burung dari hutan miyee dan ikimei.
"Aku suka bunga ini," katanya sambil menerima pemberianku. "Dan aku suka kamu yang berani datang."
Sejak hari itu, cinta kami tumbuh seperti pohon-pohon besar di sekitar dari waiyai dan deiyai : kuat, tinggi, dan menyejukkan. Kami sering duduk berdua di tepi danau, bercerita tentang mimpi-mimpi. Ia ingin menjadi guru, mengajar anak-anak Waghete supaya suatu hari desa kami bisa lebih maju. Aku bermimpi membangun perahu besar untuk mengelilingi Danau Tigi bersamanya.
Suatu malam di Waghete, di bawah bulan yang menggantung penuh di langit, aku dan Enago duduk di pinggir Danau Tigi. Angin membawa wangi tanah basah dan suara gemercik air. Di kejauhan, lampu-lampu nelayan tampak seperti bintang kecil yang jatuh ke permukaan danau.
Enago menggenggam tanganku erat.
"Kita akan selalu bersama, kan?" bisiknya.
Aku menatap matanya yang berkilau seperti malam itu, dan menjawab, "Seperti danau ini, kita akan tetap ada, meski hujan, meski panas."
Dan malam itu, aku berjanji dalam hati: aku akan membangun sebuah rumah kecil di tepi danau untuk kami. Rumah di mana cinta ini akan bersemi selamanya.
***
W. Takapabii doo