Headlines

"Cinta kita amoye dan Enago di kota Waghete"

Posted by Admin: | Senin, 28 April 2025 | Posted in ,


Di Waghete, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Tigi yang biru tenang, hidup seorang perempuan yang kecantikannya selalu diperbincangkan: Enago. Ia bukan hanya cantik karena wajahnya, tapi juga karena kelembutan hatinya dan senyum hangat yang bisa meredakan amarah siapapun yang melihatnya.

Aku bertemu Enago pertama kali di pasar kecil Waghete, di bawah pohon beringin besar yang menjadi tempat berkumpul anak-anak muda. Saat itu ia mengenakan rok noken berwarna cerah dan membawa bakul penuh hasil kebun. Mata kami bertemu tanpa sengaja, dan rasanya dunia seketika berhenti berputar.

Hari-hari setelah itu, aku selalu mencari alasan untuk bertemu dengannya. Kadang aku pura-pura membeli ubi di pasar hanya untuk sekilas melihat Enago. Kadang aku duduk di tepi danau berharap ia lewat. Dan setiap kali mata kami bertemu, Enago selalu menyapa dengan senyum yang membuat hatiku meleleh seperti es di tengah panas matahari Waghete.

Pada suatu sore, saat kabut tipis mulai turun dari pegunungan deiyai dan langit Waghete membakar jingga, aku memberanikan diri. Aku membawa seikat bunga wagadei dari odee dan menghampirinya. Tangan gemetarku hampir menjatuhkan bunga itu, tapi Enago hanya tertawa kecil — suara tawanya seperti nyanyian burung dari hutan miyee dan ikimei.

"Aku suka bunga ini," katanya sambil menerima pemberianku. "Dan aku suka kamu yang berani datang."

Sejak hari itu, cinta kami tumbuh seperti pohon-pohon besar di sekitar dari waiyai dan deiyai : kuat, tinggi, dan menyejukkan. Kami sering duduk berdua di tepi danau, bercerita tentang mimpi-mimpi. Ia ingin menjadi guru, mengajar anak-anak Waghete supaya suatu hari desa kami bisa lebih maju. Aku bermimpi membangun perahu besar untuk mengelilingi Danau Tigi bersamanya.

Suatu malam di Waghete, di bawah bulan yang menggantung penuh di langit, aku dan Enago duduk di pinggir Danau Tigi. Angin membawa wangi tanah basah dan suara gemercik air. Di kejauhan, lampu-lampu nelayan tampak seperti bintang kecil yang jatuh ke permukaan danau.

Enago menggenggam tanganku erat.
"Kita akan selalu bersama, kan?" bisiknya.
Aku menatap matanya yang berkilau seperti malam itu, dan menjawab, "Seperti danau ini, kita akan tetap ada, meski hujan, meski panas."

Dan malam itu, aku berjanji dalam hati: aku akan membangun sebuah rumah kecil di tepi danau untuk kami. Rumah di mana cinta ini akan bersemi selamanya.

***

W. Takapabii doo

Ratapan Hati Seorang Bocah Kecil di Pinggiran Pantai nabire

Posted by Admin: | Jumat, 25 April 2025 | Posted in ,


Di bibir pantai yang sunyi,
aku duduk, kaki kecilku mencelup ombak,
memandang jauh ke cakrawala
tempat matahari karam dalam luka yang merah.

Angin membawa bau garam dan kenangan,
tentang rumah-rumah roboh,
tentang ayah yang tak pulang,
tentang ibu yang diam-diam menangis di dapur reyot.

Aku, bocah kecil,
hanya tahu bermain dengan pasir dan mimpi,
membangun istana rapuh
yang runtuh sebelum sempat berdiri.

Di mataku, laut luas adalah tanya,
ke mana pergi semua tawa?
ke mana hanyut semua cerita tentang damai?

Pantai ini saksi bisu,
tubuh kecilku, suara kecilku,
tertulis dalam pasir — sebentar, lalu hilang,
dihapus ombak,
seperti kami dihapus dari peta dunia.

Aku menunggu, entah apa,
mungkin angin baru,
mungkin sebuah kapal,
mungkin secuil harapan yang tak pernah benar-benar datang.

Di pantai Nabire ini,
aku belajar bahwa tidak semua air mata asin berasal dari laut.

***

WwD 
Maikai, 25 April 2025

Ku Goreskan Pena diatas Sehelai Kertas Putih

Posted by WEMPI W. DOO | Minggu, 09 Februari 2025 | Posted in ,

Hasil gambar untuk pena
Ilustrasi Gambar/Google

Pena ku masih kokoh
Erat dalam genggam
Kini terlatih saat mengukir
Inginnya disiram tinta tuk lepas dahaga
 Setelah ukir jutaan untai kata

Saat hati bercakap dalam gubahan
Kisah tertuang dalam wadah syair
Kiasan saling berpadu serasi
Mengalir isi hati jeritan surga kecil di setiap barisnya
Emosi ku menjelma dibalik kalimat
Makna ku selipkan dalam peran istilah
Ku harap yang dituju membuka tangan
Aku,yang berbicara…
Lewat gores pena 

Karya: Wempi Wenlaus Doo
Surabaya,31-08-2016

Bergulat dengan "Kebenaran"

Posted by Admin: | Jumat, 19 Juli 2024 | Posted in , , ,


Buku ini mengajak kita untuk menjadi cair. Artinya, kita diajak untuk menikmati keindahan warisan budaya manusia, yakni filsafat, agama dan sains. Kita menjadi kaya secara pribadi, dan berwarna di dalam pengetahuan.

Buku yang ditulis oleh F. Budi Hardiman



Judul : Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Idea Besar yang Memandu Zaman Kita
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : PT. Kanisius, Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan I, 2023
Tebal Buku : 301 halaman
ISBN : 978-979-21-7566-0
 
“Kebenaran itu tak pernah murni. Ia juga tidak pernah sederhana.” Demikian tulis Oscar Wilde dalam The Importance of Being Earnest. Kutipan itu sesuai menggambarkan semangat dari buku ini. Kita diajak untuk bergulat dengan beragam ide kebenaran, sambil berpetualang di Filsafat Eropa yang mendalam dan penuh tikungan tajam.
 
Tak banyak pemikir mendalam di Indonesia. Fransisco Budi Hardiman adalah salah satunya. Di 2023 ini, ia kembali menerbitkan buku dengan judul Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta.
 
Tujuh Tesis
 
Pertama, buku ini adalah diskursus tentang kebenaran. Ia tidak langsung menunjuk pada kebenaran, tetapi pada beragam diskusi yang lahir tentang kebenaran. Budi Hardiman menyentuh pemikiran para filsuf Barat kontemporer. Dengan buku ini, Budi Hardiman mengingatkan kita, bahwa ide tentang kebenaran itu berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga tak pernah universal secara utuh.
 
Dengan buku ini, Budi Hardiman mengingatkan kita, bahwa ide tentang kebenaran itu berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga tak pernah universal secara utuh.
 
“Konsep-konsep seperti dunia sosio-historis, aletheia, atau Wirkungsgeschichte”, demikian tulis Budi Hardiman, “mengacu pada kenyataan bahwa kebenaran,…berubah lewat waktu...” (hlm.123) Segalanya terus berubah sejalan dengan perubahan sungai sejarah. Pola ini berlaku untuk semua bentuk klaim kebenaran manusia, baik yang berada di dalam sains, agama, filsafat ataupun budaya. Menuhankan satu ide kebenaran tertentu, terutama di dalam sains dan agama, hanya akan bermuara pada kesesatan berpikir.
 
Dua, tidak ada kebenaran yang bersifat solid seutuhnya, abadi serta layak diperjuangkan dengan kekerasan. Setiap klaim kebenaran selalu tertanam di dalam sejarah. Klaim universalitas sebuah pandangan adalah sebentuk partikularitas tertentu. Namun, di dalam partikularitas tersebut terkandung universalitas. Inilah paradoks kebenaran, menurut Budi Hardiman.
 
Tiga, titik utama pandangan Budi Hardiman adalah kritik terhadap kebenaran faktual di dalam sains modern. Fakta dianggap sebagai kebenaran mutlak yang istimewa. Ia dianggap lebih tinggi dari agama dan filsafat. Padahal, fakta bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dibungkus dalam kerangka pandangan dunia tertentu, dan selalu berubah di dalam waktu. Budi Hardiman menulis.
 
“Supremasi kebenaran faktualah yang sedang sedang kita persoalkan di sini dan kita identifikasi sebagai pangkal krisis-krisis makna dalam modernitas. Sains modern bekerja dalam teritorium epistemis yang tepat dengan upaya-upaya pencarian kebenaran faktual, tetapi cara-cara berpikir sains yang melampaui teritorium itu dan… kita sebut sebagai saintisme (scientism).” (hlm. 25)
 
Sains modern mengalami luber epistemis. Metodenya diterapkan untuk segala hal dalam kehidupan. Dengan cara ini, sains modern mengancam beragam klaim kebenaran lainnya yang, sesungguhnya, sangat dibutuhkan manusia. Sesat berpikir ini disebut sebagai saintisme, yakni pandangan yang menuhankan kebenaran faktual sebagai satu-satunya kebenaran.
 
Empat, mengacu pada Foucault, Budi Hardiman melihat kaitan langsung antara kebenaran dan kekuasaan. Semua pembicaraan tentang kebenaran selalu diwarnai dengan kekuasaan. Dalam arti ini, kekuasaanlah yang membentuk kebenaran. Kekuasaan menyempitkan kenyataan, lalu menghasilkan pengetahuan tertentu, termasuk moralitas, pendidikan, hukum, agama dan sebagainya.
 
“Diskursus apapun”, demikian Budi Hardiman, “entah itu dalam sains, agama, seni ataupun politik, menetapkan batas-batas pemikiran, sehingga… mengontrol, menyeleksi dan mengeksklusi.” (hlm. 150) Pengetahuan adalah hasil dari pembatasan. Pembatasan hanya mungkin lewat kekuasaan. Dunia adalah kumpulan pembatasan. Pembatasan tersebut tidak murni, melainkan dilumuri beragam kepentingan.
 
Lima, ada pembedaan penting antara fakta dan makna. Fakta adalah apa yang ditemukan di dalam kenyataan. Inilah ranah sains modern. Makna adalah proses manusia menafsirkan dunia, kerap kali dengan cara yang subyektif. Ini adalah ranah agama, budaya, seni dan filsafat.
 
Semua pembicaraan tentang kebenaran selalu diwarnai dengan kekuasaan.
 
Fakta terlihat sederhana. Makna itu rumit dan kaya warna. Di dalam kehidupan, keduanya bertaut erat. Budi Hardiman mengajak kita merayakan semua itu, tanpa terjatuh pada pemutlakan fakta atau makna tertentu, atau mencampurkan secara sembarangan ranah fakta dan makna.
 
Enam, Budi Hardiman membedakan tiga dunia. Yang pertama adalah dunia obyektif, yakni dunia faktual pada sains modern. Yang kedua adalah dunia intersubyektif, yakni dunia sosial, dimana manusia mewarnai dunia dengan tafsiran secara kolektif. Produk dunia intersubyektif adalah hukum, agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, dan diubah sesuai kebutuhan manusia. Yang ketiga adalah dunia subyektif, yakni dunia pengalaman batin manusia pribadi.
 
Ketiga dunia tersebut harus ditempatkan sesuai tempatnya. Irisan ketiganya boleh terjadi, tetapi tumpang tindih selayaknya dihindari. Manusia memerlukan fakta di dalam hidupnya, supaya ia tidak terjebak pada takhayul, dan merugikan hidupnya. Namun, manusia juga adalah mahluk pemberi makna. Ia mewarnai pengalaman hidupnya dengan cerita dan tafsiran yang kaya. Semuanya perlu diberikan tempat secukupnya di dalam kehidupan.
 
Tujuh, Budi Hardiman mengembangkan pandangannya sendiri. Ia melihat, bahwa hidup manusia terdiri dari beragam ontologi. Dalam arti ini, ontologi adalah pandangan menyeluruh tentang kenyataan dengan klaim kebenaran tertentu. Ada empat bentuk ontologi, yakni ontologi pelampauan, ontologi pelepasan, ontologi penerimaan dan ontologi penyingkapan.
 
Dengan keempat bentuk ontologi ini, Budi Hardiman merangkum semua bentuk klaim kebenaran di dalam sejarah. Detil dari teori tipologi ontologi ini bisa dibaca langsung di dalam bukunya. Teori tipologi ontologi ini merupakan bentuk-bentuk penghayatan manusia tidak hanya pada kebenaran, tetapi pada kehidupan sebagai keseluruhan. Buah dari pemahaman ontologi ini adalah keterbukaan pada kebenaran yang berubah.
 
Relevansi
 
Buku ini mengajak kita untuk menjadi cair. Artinya, kita diajak untuk menikmati keindahan warisan budaya manusia, yakni filsafat, agama dan sains. Kita menjadi kaya secara pribadi, dan berwarna di dalam pengetahuan. Kita menikmati semuanya, tanpa terjebak di dalam satu klaim kebenaran, dan menjadi fanatik-destruktif.
 
Di dalam politik, kita juga diajak untuk menjadi cair. Kita tidak fanatik pada satu aliran politik tertentu. Kita tidak buta dan diperbudak oleh satu partai tertentu. Sikap cair, terbuka dan sehat di dalam memandang politik amat penting.
 
Soal agama, kita perlu sikap serupa. Agama adalah produk budaya. Ia hidup dan dan berubah. Menuhankan agama berarti menyangkal ciri historis agama tersebut. Kita pun terjebak di dalam kesesatan.
 
Sains perlu ditempatkan secara tepat, sambil bersanding dengan filsafat, budaya, seni dan agama di dalam mewarnai hidup manusia.
 
Budi Hardiman juga mengajak kita tidak menuhankan sains. Sains memang mengubah seluruh hidup manusia. Cara berpikir tentang dunia, termasuk tentang diri kita sendiri, berubah total, akibat penemuan-penemuan menakjubkan di dalam sains. Namun, itu bukan berarti, sains layak menjadi satu-satunya kebenaran di dalam hidup. Sains perlu ditempatkan secara tepat, sambil bersanding dengan filsafat, budaya, seni dan agama di dalam mewarnai hidup manusia.
 
Buku ini perlu dibaca masyarakat luas, dan menjadi bahan diskusi mendalam. Tantangan yang lahir dari buku ini akan membuat kita berkembang di dalam dunia pemikiran menuju kebijaksanaan.
 
Catatan kritis
 
Ada lima catatan kritis. Pertama, buku ini bisa menjadi autokritik atas dirinya sendiri. Buku ini membahas beragam klaim kebenaran dan ontologi, sambil menggunakan klaim kebenaran dan ontologinya sendiri. Artinya, proses kekuasaan dan penyempitan juga terjadi di dalam buku ini. Jika buku ini benar, maka buku ini juga “salah”.
 
Dua, peyempitan paling terasa di dalam pandangan Budi Hardiman soal Filsafat Asia. Secara sederhana, Budi Hardiman menyempitkan filsafat Asia sebagai filsafat Timur, atau kebijaksanaan Timur, yang menolak dunia (ontologi pelepasan). Padahal, filsafat Asia memiliki banyak sekali aliran. Ontologi filsafat Asia juga amat beragam, dan jauh lebih kaya daripada yang dipaparkan oleh Budi Hardiman.
 
Tiga, Budi Hardiman tidak berbicara tentang kebenaran. Ia berbicara tentang diskusi atas kebenaran. Ini seperti berada di restoran, tetapi hanya membaca menu, tetapi tidak makan. Ini adalah proses yang mengasyikan secara intelektual, tetapi tidak membuat hidup manusia lebih kaya. Dengan kata lain, buku ini bersifat tanggung di dalam memahami dan mendalami kebenaran.
 
Empat, buku ini juga menunjukkan dengan jelas keterbatasan Filsafat Eropa, atau Filsafat Barat. Filsafat Eropa terjebak pada “obsesi terhadap bahasa dan konsep”. Buahnya adalah keletihan epistemik, yakni kelelahan di dalam merumuskan konsep untuk memahami kehidupan yang tak pernah bisa ditangkap di dalam konsep. Satu pertanyaan terjawab, puluhan pertanyaan muncul. Yang tersisa hanyalah rasa tak puas.
 
Lima, Budi Hardiman kiranya perlu melampaui filsafat. Perjalanannya panjang, dan sangat berharga untuk para pembaca dan muridnya. Mungkin, ia sudah tahu tentang hal ini, tetapi memutuskan untuk tetap bermukim di ranah konsep. Kita perlu bertanya pada beliau langsung.
 
Setelah “bergulat dengan kebenaran”, kita perlu “mengalami kebenaran”. Budi Hardiman mungkin akan berkata, bahwa ini bukan ranah filsafat. Namun, saya bisa menanggapi: filsafat berkembang dengan menjangkau jauh ranah-ranah tak bertuan dan terlarang. Kita tunggu karya-karya beliau berikutnya. ***

#Bahan Bacaan

Repost:Muye Voice

HAM dan Harapan (Sebuah perspektif Gereja Katolik lokal di Tanah Papua)

Posted by Admin: | | Posted in , , , , ,

Ilustrasi, aksi demo penegakan HAM di Papua – Muye/Jubi-Dok

 
Oleh: Erik Yepmum Bitdana

Pelanggaran HAM merupakan salah satu karakteristik dari konflik yang mengancam dimensi terdalam hidup manusia zaman ini. Konflik berdimensi manusia ini selalu hidup dan berkembang seiring perkembangan zaman yang mengancam, sekaligus membuka peluang bela rasa di sisi lain walau perbedaan antarsesama selalu ada. Konflik atas hak-hak asasi manusia juga menjadi salah satu karakteristik kehidupan manusia dari zaman purba hingga era globalisasi.

Praksisnya konflik ini masih kita alami dan terus tumbuh di tengah-tengah kehidupan sosial, di semua zaman, negara, sistem sosial, dan di semua bidang kehidupan manusia. Maka tidak heran konflik berdimensi manusia ini terus mengancam tatanan hidup bernegara di Indonesia. Jika menoleh ke belakang, konteks sejarah kita bangsa Indonesia pun penuh dengan beragama konflik dengan sebutan Orde Lama (melawan penjajah), Orde Baru, pascareformasi dari otokratis ke demokrasi, dan berbagai tindakan ketidakadilan yang kian terjadi di hampir seluruh tanah air Indonesia, khususnya di Papua.

Fenomena konflik tentang HAM di Papua ini selalu menjadi bagian hidup yang tidak terlepas dari perjuangan hidup kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian yang selama ini tidak menjadi bagian dari hidupnya, baik secara jasmaniah, maupun rohaniah demi membebaskan jiwa manusia kulit hitam, rambut talingkar bagaikan lilitan konflik yang mengancam keberadaanya di tanah Papua dan Indoensia umumnya.

Tentu konflik berdimensi manusia ini tidak turun dari langit begitu saja, melainkan diciptakan oleh manusia itu sendiri yang bertumbuh dan berkembang sejak historisasi integrasi Papua ke dalam NKRI. Historisasi inilah yang menjadi dasar konflik yang sering disebut aneksasi atas hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua pada 1963 dan saat itu pun terjadi pelanggaran HAM diciptakan. Dikatakan pelanggaran HAM karena hak penentuan nasib sendiri sebagai manusia Papua dimanipulasi oleh tentara Indonesia untuk dijadikan sebagai bagian dari warga Negara Indonesia secara paksa. Maka sampai detik ini Papua menjadi bagian dari Indonesia. Akhirnya sejarah ini menjadi awal perjuangan HAM sebagai orang Papua terus diperjuangkan dengan alasan dasariah, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai manusia.

Atas dasar perspektif inilah ajaran gereja dan hukum internasional hadir membela dan memperjuangkan nilai kemanusiaan yang memilki hak dan martabat yang lebih tinggi, sehingga harus dilindungi dan diberi kebebasan untuk hidup sebagai manusia merdeka secara integral. Oleh karena itu, pengalaman sejarah ini menjadi alasan dasar untuk diangkat sebagai masalah aktual sekaligus fundamen dalam segala bentuk konflik di tanah Papua. Dengan beberapa alasan mendasar seperti memperjuangkan nilai pribadi sebagai orang Papua yang sering tidak dihargai dan dihormati sebagai manusia ciptaan Tuhan.

Orang Papua mendambakan perdamaian dan mendapat pengakuan, serta perlindungan dari hukum sipil secara nasional, maupun internasional yang adil sebagai warga dunia yang patut dihormati dalam wadah “Bhineka Tunggal Ikha”. Dan memberikan haknya dalam segala bidang hidup yang selama ini terbungkus dalam perbedaan agama, rasialitas dan beragam konflik sosial lainnya di seluruh Nusantara ini secara politis (kemerdekaan).

Berdasarkan alasan dasariah manusia inilah penulis mencoba merefleksikan situasi maraknya pelanggaran HAM di Papua pada era 1963-2020. Dalam situasi ini, banyak umat Allah yang sering mengeluh dan bertanya, suara Gereja dimana atau mengapa gereja diam, mengapa PBB tidak menghiraukan pelanggaran HAM di Indonesia-Papua?

Penulis mencoba merespons semua pertanyaan ini dalam bentuk refleksi dengan alasan mendasar HAM dari pandangan Ajaran Sosial Gereja (ASG) dan kontribusi gereja lokal Papua yang hendak mengangkat harkat dan martabat orang Papua sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan, yang perlu dijaga, dilindungi dan dihormati secara hukum internasional maupun agama.

Di tengah konflik inilah Gereja Katolik, dalam diri Pastor Dr.Neles Kebadabi Tebay, hadir membuka “dialog” suara kenabiannya atas dasar cinta kasih dengan mengajak pihak pro perjuangan kebebasan, maupun pihak NKRI harga mati, untuk duduk bersama sebagai satu keluarga Allah hendak men-sharing-kan bersama semua pengalaman pahit-manis, suka-duka orang Papua dan orang Indoensia. Dengan demikian, nilai kemanusiaan dijunjung tinggi, keadilan ditegakkan, perdamaian dicptakan dan kesejahteraan dinikmati oleh setiap pribadi manusia di atas tanah dan bangsa ini. Walau demikian, pelanggaran dan konflik terus bertambah dengan menelan korban jiwa. Hal ini nyata sudah, sedang dan akan terjadi di tanah air ini dengan terus devensif terhadap pihak pro maupun kontra.

Selayang pandang pelangaran HAM di Papua

Tanah Papua saat ini mengalami beragam konflik, baik secara horizontal, maupun vertikal yang mengancam seluruh eksistensi hidup orang Papua. Dengan terciptanya beragam konflik seperti kerusuhan dimana-mana, pertikaian, dan pembunuhan tak henti-hentinya oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab menjadi dalang bagi suburnya muncul beragam konflik baru.

Di Tanah Papua kita sering mendengar, menyaksikan, dan mengalami pelbagai tindakan ketidakadilan yang membuat hati sedih dan merasa tidak aman dalam menghadapi situasi yang demikian. Seperti halnya kerusuhan di Wamena (Kompas, 24 September 2019), beragam rentetan demostrasi hampir di seluruh Tanah Papua sepanjang Agustus pasca rasisme di kota Surabaya, Jwa Tengah, dan sekitarnya (Kompas 20 Agustus 2019), korban demonstrasi di Deiyai 28 Agustus 2019 dengan 17 orang, kekerasan fisik dan lainya meninggal dunia, Fakfak dan Timika, serta sedang terjadi pengungsian besar-besaran di Nduga dan sekitarnya menjadi daerah konflik yang menelan korban jiwa maupun material. Tidak hanya itu, konflik bersenjata semakin memanas di Intan Jaya, Puncak Jaya, Timika dan sekitarnya menjadi ladang update news.

Tak terpungkiri, beragam pendekatan pun terus menjalar bagai jamur yang tumbuh dan berakar seakan seperti benalu pohon. Pelanggaran ini terus diiringi dengan perjuangan nasionalisme Papua merdeka dan Indonesia harga mati melalui konflik bersenjata, pembunuhan gelap, penculikan, pemerkosaan, anarkistis, rasialis, separatis, dan beragam tuduhan lainnya melalui pendekatan militer, menciptakan konflik vertikal antarormas, bahkan negara sendiri yang tersistematis organisir hingga menjalar dalam tubuh gereja pun semakin sengit tersusun rapi.

Tentu hal ini secara tidak langsung sangat mengganggu semua aktivitas dalam kelangsungan hidup sebagai manusia personal, kelompok, keluarga, lingkungan sekolah, agama, dan pemerintah bahkan masyarakat umum dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Sampai detik ini, orang Papua tidak mengalami, menikmati dan memiliki nilai-nilai hidup seperti; keadilan, kebebasan, cinta kasih, persaudaraan dan peri kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh setiap kita maupun di Dewan HAM di PBB seakan organisasi belaka. Pada hal deklarasi PBB menjadi harapan terbesar.

Deklarasi Piagam PBB tentang HAM

Pengakuan terhadap harkat dan martabat asali manusia adalah bagian integral sebagai anggota keluarga, agama, komunitas negara dan bangsa, dengan memberikan hak dan bagiannya tanpa monopoli, dengan memberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri sebagai makhluk berakal budi, memberi rasa keadilan sebagai manusia yang sama hakikat dengan manusia lain dan menjamin kebebasan, keadilan dan perdamaian. Hal ini berlaku bagi setiap insan manusia tanpa perbedaan pria-wanita, kecil-besar, putih-hitam, keriting-lurus, negara, bangsa, benua dan beragam perbedaan lainya. Oleh karena itu, deklarasi universal tentang HAM telah mengesahkan undang-undang demi terjaminnya perdamaian dunia yang berlaku secara internasional di wilayah kekuasannya, termasuk Indonesia.

Dengan rumusan ini, hendak (kita) memberi gambaran yang komprehensip tentang pentingnya menghormati, menghargai dan melindungi manusia sejak awal pembentukan dalam kandungan, dilahirkan sampai dengan saat mengakhiri ajalnya. Maka hukum ini pun berlaku bagi manusia Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, sebagai bagian dari anggota PBB.

Hukum undang-undang PBB memberi gambaran akan jaminan perlindungan HAM dari sejak kelahiran-kematian yang seluruhnya berisi 30 pasal dan 10 dekrit. Pasal (1) menjamin kelahiran manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dilindungi, (2) menjamin hak dan kebebasan tanpa perkecualian apa pun (asal-usul, jenis kelamin, agama, relasi, bahasa, kebangsaan maupun rasialitas) lainnya. Semuanya mengatur tentang jaminan seluruh HAM. Oleh karena itu, berdasarkan deklarasi hak asasi manusia dengan nilai harkat dan martabatnya sebagai manusia maka tidaklah salah jika manusia Papua dengan segalah keberadaanya tergerak untuk mencari kebebasan sebagai hakekat dirinya sebagai manusia demi hak asasi manusia dan kebebasannya.

Oleh karena itu sebetulnya HAM bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat orang Papua, bahkan seluruh mahkluk ciptaan Tuhan termasuk sumber daya alam dan kekayaan lain yang menjadi hak milik orang Papua, sehingga tidak dibenarkan jika hak hidup orang Papua dirampas dan dihabisi dengan cara yang tidak manusawi. Kebebasan memberikan pendapat dibatasi dan hak milik sumber daya alam dikeruk, tidak menjamin kenyamanan hidup, segala pergerakan diintai dan hak memenuhi kebutuhan hidup primer diracuni. Tentu hal ini menyebabkan kebencian rakyat Papua terhadap pemerintah dan seluruh kekuatan negara yang berujung pada korban nyawa. Maka kebebasan menjadikan orang menjadi dirinya sendiri tanpa dipaksa.

Dengan kebebasan inilah telah lahir persamaan hak di segala bidang hidup seperti; persamaan di bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya. Jhon Locke, ahli filsafat Inggris dalam bukunya Two Treatises Of Goverment (1690) mengemukakan, setiap orang memiliki hak yang dibawa sejak lahir yaitu hak hidup (life), hak akan kebebasan (liberty) dan hak milik (property). Dibuktikan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 1776 yakni “Semua Orang Mendapat Kemurahan Tuhan untuk Hidup, Bebas dan Mengejar Kebahagiaan” yang seperti halnya dirumuskan dalam bentuk HAM (Universal Declaration of Human Right, 10 December 1948).

Atas dasar inilah, gereja pun hadir menunaikan tugasnya sebagai pewarta kabar gembira dan memainkan peran sentral dalam hidup manusia, sehingga wajar, gereja hadir membela umat yang tertindas, teraniaya, miskin dan tak memiliki kemampuan. Maka tepatlah jika dikatakan “suara Gereja adalah suara kaum miskin”. Secara konkret gereja hadir dan bersuara di tengah hiruk-pikuk pelanggaran dan maraknya konflik di tanah Papua, yakni melalui dialog.

Gereja dan dialog: Suara kenabian gereja lokal di Tanah Papua

Pemahaman tentang HAM dan ASG menegaskan “karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena manusia mempunyai kodrat dan asal, karena penebusan Kristus mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama bagi manusia, maka kesamaan asasi antarmanusia harus senantiasa diakui (GS 29)”.

Ajaran Sosial Gereja ini tentu mengandung makna bahwa setiap manusia di dunia ini, termasuk orang Papua yang merasa ditindas, dintimidasi, diteror dan digenosida dengan berbagai macam (tindakan) non-humanis lainnya perlu diberi hak istimewa dan menghormati kehidupannya sebagai manusia tanpa meniadakan satu iota (titik) pun. Karena manusia sebagai insan ciptaan Allah diajak utnuk saling menghormati, melindungi antara satu dengan yang lain sebagai individu mulia, dengan mengaplikasikannya dalam hukum cinta kasih.

Hukum cinta kasih menjadi landasan pembelaan atas HAM karena dialah satu-satunya hukum Tuhan yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan, menerobos tembok pemisah antara pandangan negatif maupun positif antaramanusia satu dengan manusia lainnya. Hukum cinta kasih sendiri memperlihatkan keprihatinan Allah atas ketidakadilan, kelalaian dan dosa manusia di muka bumi ini di antara sesama yang berkonflik. Maka Allah sendiri sebagai Kasih tentu memiliki rencana dan misi-Nya untuk manusia. Allah sebagai Kasih bertindak hendak menyelamatkan manusia yang Ia kasihi melalui orang-orang pilihan-Nya. Berdasar pada kasih inilah Sang Kebadabi Pastor Dr.Neles Kebadaby Tebay tergerak hatinya untuk bersuara sebagai nabi, imam dan raja di tengah hiruk-pikuk konflik di atas tanah Papua ini melalui jalan perdamaian without non violence.

Pater Neles, menyadari dirinya sebagai Sang Pembuka Jalan (Kebadaby) dan menghayati panggilan Tuhan sebagai imam, nabi dan raja dengan keprihatinannya terhadap kemanusiaan di tanah Papua. Sebagai putra asli Papua, kondisi ini menjadi pendorong untuk membuka suara “kasih” hendak menegakkan hukum cinta kasih Tuhan di atas Tanah Papua sebagai jalan kebenaran dan hidup tanpa adanya korban pertumpahan darah.

Oleh karena itulah, dialog hadir sebagai jembatan dan jalan satu-satunya menuju harapan keselamatan manusia, karena di sana ada pengampunan, perdamaian, sukacita, dan keadilan antara kedua harga (NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati) yang sudah mati. Artinya, gagasan atau nasionalisme dari kedua pandangan tersebut berkonotasi negatif yang hendak mempertahankan kebenaran pribadi, dengan mengorbankan yang lain tanpa mempertimbangan nilai dan harkat manusia.

Dialog hadir menegakkan cinta kasih (caritas) yang dimaksudkan adalah kasih sosial atau kasih politik. Karena kasih politik sosial ini dimaksudkan untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih manusiawi dengan kasih terus menjiwai dinamika relasi antarpribadi, warga masyarakat dan antarnegara. Berkaitan dengan gagasan dialog (kasih) maka gagasan Cicero sangat tepat dengan konteks kita di Indonesia-Papua yakni “Mengalahkan manusia dengan budi baik dan kasih (Benevolentia Devincere Homines et Caritate) dan satu tanah air merangkul semua cinta kasih warganya. Maksudnya bahwa kasih sebagai perekat kebersamaan antarwarga, antar perbedaan pendapat, suku, ras dan budaya yang melahirkan nilai-nilai, kebenaran, kebebasan, dan keadilan. Oleh karenanya tidak dibenarkan adanya diskriminasi rasial, hukum, HAM, golongan sosial, agama, budaya dan segala macam lainnya yang mengancam kekudusan martabat manusia Papua di atas tanah kelahirannya sendiri secara terang-terangan, maupun diskriminasi secara sistematisasi pemerintahan di erah otonomi khusus di tanah Papua yang keliru.

Tidak benar pula, jika segala macam perbedaan sosial menjadi ukuran untuk membedakan, bahkan meniadakn manusia Papua sebagai tumbal yang nilainya dengan hewani dengan segala macam bentuk intimidasi dan rasial. Oleh karena dasar inilah gereja berhak bersuara untuk mendesak dihapuskanya dari setiap bentuk diskriminasi yang bersifat warna kulit, suku, agama, bahasa, keadaan sosial, dan lainya yang rentan berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah yang adalah Bapa pencipta, penyelamat dan pembaharu hidup manusia.

Maka itu tidak heran, Apabila dari pihak gereja memberi perhatian yang sangat besar terhadap eksistensi manusia dengan mengeluarkan berbagai ensiklik seperti; Mater Et Magistra dan Pacem in Terris yang merumuskan hak-hak asasi. Kemudian konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes berulang kali berbicara mengenai HAM dan panitia kepausan “Justitia et Pax” tentang gereja dan HAM dengan berbagai ensiklik terus mengalir untuk melindungi dan memperjuangkan nasib, harkat dan hakekat manusia yang luhur mulia di dunia ini, secara khusus orang Papua yang ditindas dengan berbagai kepentingan dunia.

Dengan berangkat dari pengalaman situasi di Papua yang semakin marak dengan beragam konflik yang berujung pada korban nyawa tentu bagi saya adalah suatu tindakan kebiadaban yang mesti dilawan dengan senjata lain, yakni menegakkan keadilan, menjunjung tinggi hak-hak dasar sebagai manusia untuk hidup bebas dan berserikat. Ingatan akan sejarah pembebasan bangsa Israel dalam perbudakan tangan besi di Mesir yang penuh dengan penindasan dan hilangnya harapan hidup sebagai bangsa pilihan Allah lalu Allah mendengar seluruh tangisan dan teriakan bangsa Israel sampai di telingah Allah dan Allah mengabulkanya dengan memilih Musa dan Harun sebagai tongkat menuju kebebasan (Ul 26: 5-9).

Prinsip dasarnya bahwa dialog Jakarta –Papua diharapkan menjadi kesempatan untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, secara bernartabat tanpa merugikan salah satu pihak. Singkatnya dialog membuat hidup bersama dalam ruang publik Indonesia menjadi indah dan memesona. Tiada kasih tanpa pengampunan dan tiada pengampunan tanpa kasih, menghormati dan melindungi serta membelah hak, harkat dan martabat manusia adalah tugas dan tanggung jawab yang diembankan pada diri kita secara personal, kelompok, masyarakat, negara dan dunia hingga disempurnakan oleh yang Maha Sempurna. Inilah cita-cita sekaligus tujuan hidup manusia di dunia ini. (*)

Penulis adalah mahasiswa dan anggota Kebadabi Voice Group di STFT Fajar Timur Abepura, Papua


Repost: muye voice

#TERPOPULER

Random Posts

#Translate

Tayangan Laman

# FIRMAN TUHAN

# FIRMAN TUHAN

# visitor

Flag Counter